Selasa, 06 Desember 2016

Mager, ketika jiwa tak bernyawa

Istilah terbaru yang kita jumpai pada saat ini ialah kata 'Mager' (males gerak). Boleh saya katakan bahwa itu adalah masalah terbesar bagi saya sebagai mahasiswa. Mungkin juga bagi sebagian orang sebagai pekerja. Hal tersebut membuat kita kehilangan tenaga seketika, dan juga merupakan sebab dan akibat kehilangan motivasi hidup. Pernahkah anda merasakan hal tersebut? Adalah pengalaman yang pahit ketika kita mengalami hal tersebut yang berujung pada penyesalan. Saya salah satu mahasiswa yang sering kali mengalami ‘mager’, jauh di dalam hati hanya terucap, “nanti sajalah, besok sajalah, lain kali saja ahh.. masih lama”. Pada akhirnya itu semua berbuah yang pahit, itu semua terasa ketika saya melaksanakan ujian tengah semester (UTS), sungguh membosankan ketika merasakan penyesalan yang datang belakangan. Melihat hasil UTS yang tidak memuaskan yang diakibatkan sebelumnya saya selalu memprioritaskan membaringkan tubuh dengan malas-malasan. Tapi sejujurnya, ketika saya ‘mager’, hal yang saya rasakan adalah ketidaktenangan, resah setiap kali melihat detik jam berjalan mengelilingi porosnya. Sebenarnya saya sudah menyadari bahwa habits ‘mager’ menganalogikan seperti manusia yang tertancap di bumi bagaikan pasak. Terkadang saya berpikir ketika saya hanya tiduran di atas ranjang yang empuk sambil mengabaikan hal-hal yang lebih penting, bagaikan seekor ternak yang dikandangkan dan terikat di tiang bambu. Setelah mengalami penyesalan yang sangat pahit lantaran melihat nilai UTS yang membuat mata perih, yang saya butuhkan adalah motivasi dari dalam, dan motivasi dari luar juga tentunya.
Mager (verb), adalah tindakan yang melalaikan dan menganggap remeh akan suatu kerjaan, kegiatan, tugas, amanah, dan janji yang dimiliki dan yang direncanakan. Ada salah satu perbedaan yang sangat menonjol antara manusia dengan tumbuhan. Diamnya tumbuhan, memberikan manfaat bagi manusia yang memerlukan oksigen dan pangan, sedangkan diamnya manusia, tentu saja menyusahkan manusia yang ada di lingkungan sekitarnya. pernahkah anda memperhatikan air? Pernahkah membandingkan air yang diam tergenang dengan air yang mengalir? Jika anda diberi pilihan untuk merendamkan badan, tentu saja anda akan memilih air yang mengalir. Kenapa? Kita meyakini bahwa air yang mengalir adalah air yang bersih dan lebih sehat jika dibandingkan dengan air yang diam tergenang. Yaa,,!! Air yang diam tergenang tentu saja lebih banyak mengandung bakteri penyakit, terlihat keruh, dan berbau tidak sedap. Air yang mengalir lebih jelas tujuannya, yaitu ke tempat yang lebih rendah dan bermuara ke laut yang sangat luas. Berbeda dengan air yang diam dan tergenang. hanya terpaku pada tempat yang dipijak saja, seolah-olah tidak berani melangkah ke depan sedikit pun, dan yang lebih jelas adalah, air yang diam tergenang tidak akan pernah mengenal dan bermuara di laut dan samudra yang begitu indah dan luas. Sama halnya pada diri kita, apakah seperti air yang diam tergenang? Atau mengalir dan bertujuan?. Orang yang ’mager’ adalah yang digambarkan seperti air yang diam dan tergenang. Hanya akan menjadi penyakit bagi dirinya sendiri, hidupnya tidak memiliki tujuan, tidak bertambah wawasannya, tidak bisa melihat dunia secara luas, dan tidak ada kemajuan. Orang yang tidak ‘mager’? tentu saja seperti air yang mengalir, bersih, sehat, tujuan aliran kehidupannya jelas, pada akhirnya dapat bermuara ke samudra, samudra pengetahuan dan wawasan. Orang yang tidak ‘mager’ memiliki visi yang jelas, tidak seperti daun yang hanyut di sungai, tidak seperti buih-buih di lautan.

Mager (noun), adalah sesuatu yang sangat sulit disingkirkan, karna bagaimana pun juga hal itu adalah hasil dari keberhasilan syaitan yang menggoda kita agar melupakan tujuan hidup di dunia ini. Walaupun habits ‘mager’ belum sempurna hilang dari diri saya, tapi lambat laun dengan izin Allah SWT akan hilang. Ada pertanyaan yang sering saya tanyakan ke diri saya sendiri ketika merasa ‘mager’, “saya memiliki alat gerak sempurna yang diberikan Allah SWT, lalu mengapa masih malas gerak?, keluarga saya memiliki latar belakang pekerja keras, bahkan bapa saya bisa mempunyai toko material bangunan dan kebun kelapa sawit dari nol, apakah tradisi keluarga saya sebagai pekerja keras akan terhenti di saya?, apakah saya akan melahirkan generasi dan keturunan yang pemalas?, dan apa akibatnya jika saya terus-menerus seperti ini?, apakah cita-cita dan impian akan tercapai?, ketika saya lebih memilih berdiam diri daripada berinovasi, apakah saya masih berhak dikatakan makhluk hidup?, apakah kebiasaan yang seperti ini menggambarkan adanya nyawa di dalam jiwa saya?, lalu, apa yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT atas nikmat yang diberikan?”. Yaa benar, ketika saya menjadikan ‘mager’ menjadi kebiasaan saya, maka seolah-olah jiwa saya tak bernyawa. Maka dari itu, jangan remehkan motivasi, jangan remehkan inovasi, jangan remehkan sebuah visi. Bagaimana pun juga kita hidup di dunia bukanlah sia-sia belaka, Allah SWT menyuruh kita untuk senantiasa bertebaran ke muka bumi, dalam rangka apa? Dalam rangka ibadah dan terpacu akan ridho Allah SWT. Masih ‘mager’ dalam hal kegiatan yang penting? Masih ‘mager’ dalam hal ibadah kepada Allah SWT? Maka, kuburlah diri sendiri, karna sesungguhnya jiwanya sudah tidak bernyawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar